JAKARTA - Pemerintah memberlakukan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi paling lambat September nanti. Kebijakan itu mendesak untuk diberlakukan karena konsumsi BBM bersubsidi sudah mencapai 6-9 persen di atas kuota yang ditetapkan. Tahun lalu konsumsi premium bersumsidi 21.218.838 kiloliter (KL).
''Saat ini konsumsi BBM sudah melebihi target. Tahun ini kita dijatah 36 juta KL. Kalau (kenaikan) terus berlangsung, konsumsi BBM kita akhir tahun bisa lebih dari 40 juta KL,'' ujar Dirjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo setelah membuka workshop pemanfaatan BBN (bahan bakar nabati) kemarin (23/6).
Menurut dia, pembatasan BBM bersubsidi harus segera dilakukan. Bahkan, dia mengatakan bahwa pembatasan BBM bersubsidi seharusnya tidak boleh dilakukan setelah September. Sebab, bila pemerintah mengulur waktu, konsumsi BBM bersubsidi terus melonjak dan melebihi kuota. ''Kalau subsidinya (volume BBM subsidi yang dikonsumsi) besar, Agustus nanti (pembatasan BBM) dimulai. Kalau (volumenya) merata, tampaknya September bisa. Jadi, bergantung kepada volumenya nanti,'' paparnya.
Dia menuturkan, konsumsi BBM sejak Januari hingga bulan ini meningkat. Selama enam bulan pertama 2010, konsumsi BBM sudah 6-9 persen di atas kuota harian yang ditetapkan. Dia mencontohkan konsumsi minyak tanah (kerosen) yang tidak sampai melebihi kuota. ''Jatah minyak tanah (yang disubsidi) 10 ribu KL per hari. Pada semester pertama tahun ini, konsumsinya tidak pernah melebihi itu,'' katanya.
Untuk mengurangi penggunaan BBM bersubsidi yang melebihi kuota, kata Evita, pemerintah akan membatasi penggunaan untuk jenis kendaraan tertentu. Pembahasan mengenai jenis kendaraan yang diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi hingga kini dilakukan. ''Tapi, transportasi umum dan sepeda motor tetap boleh membeli BBM bersubsidi,'' ujar Evita.
Saat ini Ditjen Migas sedang menyiapkan skema pembatasan konsumsi BBM. ''Kami pada 9 Juli nanti harus melaporkan kepada menteri ESDM seperti apa rencana penghematan dan langkah-langkahnya. Jika menteri menyetujui, selanjutnya laporan itu dibawa ke Komisi VII DPR,'' terangnya.
Sebelum pembatasan BBM bersubsidi diterapkan, pemerintah bakal merevisi Peraturan Presiden No 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) Dalam Negeri. Revisi itu akan memasukkan siapa saja yang boleh dan tidak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi. ''Revisinya diharapkan selesai sebelum kebijakan (pengetatan) ini diimplementasikan,'' ujarnya.
Evita menyebutkan, opsi tentang jenis kendaraan yang boleh membeli BBM bersubsidi atau sebaliknya juga telah mengerucut. Kriterianya akan didasarkan pada tahun pembuatan kendaraan, besaran cc (kapasitas mesin), dan wilayah pengetatan. ''Mungkin kami mencoba dulu di Jawa,'' katanya.
Pemerintah menyatakan harus memperketat BBM bersubsidi karena konsumsi sudah melampaui batas. Harga keekonomian premium diklaim seharusnya sekitar Rp 7 ribu per liter atau sama dengan harga pertamaks yang tidak disubsidi (oktan 92). Sementara itu, harga premium (oktan 88) saat ini ditetapkan Rp 4.500 per liter.
Secara terpisah, pengamat perminyakan Kurtubi menolak kebijakan pemerintah membatasi penjualan BBM bersubsidi. Dia menilai, kebijakan itu justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian nasional. ''Skenario pembatasan BBM bersubsidi, apa pun acuannya, tidak usah dilanjutkan. Itu justru akan merugikan pertumbuhan ekonomi nasional,'' ujarnya.
Menurut Kurtubi, dengan membatasi penjualan premium dan solar bersubsidi bagi golongan tertentu, akan terjadi kemunduran ekonomi. ''Aktivitas distribusi akan berkurang. Akibatnya, suplai barang ke masyarakat menjadi berkurang dan harga-harga bakal mahal. Perusahaan pasti akan membebankan kenaikan ongkos belanja BBM kepada harga produk. Kalau tidak, mereka harus PHK karyawan,'' katanya.
Kurtubi menyarankan pemerintah mencari skema pengurangan BBM bersubsidi yang lebih bijaksana. Misalnya, meningkatkan pemanfaatan BBG (bahan bakar gas) sebagai pengganti BBM. ''Premium itu kan masih ada substitusinya, yaitu BBG. Itu lebih bijaksana daripada mengurangi penjualan,'' jelasnya. ''Sebagai permulaan, bisa saja angkutan umum dan mobil-mobil dinas berganti dengan menggunakan BBG.'' (wir/c4/dwi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar